Mendamba Jaminan Produk Halal yang Paripurna


Oleh Ummu Munib
Ibu Rumah Tangga

Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 168 yang artinya:
“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu.”
Manusia diperintahkan Allah Swt. untuk memakan makanan yang halal dan baik. Bagi seorang muslim, makanan yang dikonsumsinya akan memengaruhi diterima dan tidaknya amal saleh yang ia lakukan.

Namun realitanya tidak mudah bagi kaum muslim di negeri ini untuk melaksanakan perintah Allah terkait pangan. Betapa miris dan meresahkan. Perdagangan daging anjing kembali terjadi, kini terjadi di Jakarta tepatnya di Pasar Jaya Senen Blok III. Sebuah akun instagram @animaldefendersindo (ADI) mengungkapkan, "Kami menginvestigasi sebuah lapak penjualan daging anjing, mereka mengaku sudah beroperasi lebih dari 6 tahun, dan bisa menjual minimal 4 ekor anjing perharinya".

Manajer Umum dan Humas Perumda Pasar Jaya, Gatra Vaganza membenarkan adanya pedagang penjualan daging anjing, padahal daging anjing tidak termasuk dalam komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar milik Pemprov DKI Jakarta ini. Ia menjanjikan akan mengevaluasi operasional pasar sehingga penjualan komoditas di luar peraturan yang ada tidak terulang kembali. (Republika.co.id, 7/09/2021)

Terkait kasus perdagangan daging anjing ini, ditanggapi oleh Suparji Ahmad, seorang Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI). Ia menilai penjualan daging anjing merugikan kesehatan konsumen. Salah satunya penularan penyakit rabies. Untuk itu ia menyarankan penertiban pasar terhadap penjual daging anjing tersebut, sebagai amanat undang-undang untuk memberikan keamanan dan keselamatan konsumen. 
Selain itu Suparji menyampaikan bahwa negara wajib hadir untuk menjamin kepastian hukum pelaku usaha maupun konsumen. Negara harus memberikan sanksi penutupan dan penarikan produk tersebut di pasaran. Selain itu harus memberikan pemahaman kepada konsumen bahwa daging anjing tersebut bertentangan dengan UU Pangan. Dimana UU Pangan mengamanatkan bahwa pelaku usaha harus menjamin bahwa barang yang dijual harus memenuhi syarat halal dan tidak melanggar norma agama yang berlaku. (rri.co.id, 12/09/2021)

Sungguh ironis, negeri dengan mayoritas muslim, namun lagi-lagi permasalahan penjualan daging yang haram untuk dikonsumsi muncul kembali. Bukan hanya daging anjing, sebelumya pernah beredar pula daging babi, celeng, dan tikus. Entah bagaimana caranya oknum pedagang bisa dengan mudah lolos dari pengawasan aparat pemerintah.

Terhadap kasus ini negara baru hadir bak pemadam kebakaran, baru bertindak saat kasus sudah merebak dan merugikan masyarakat. Undang-Undang Jaminan Halal dan Lembaga Perlindungan Konsumen yang ada belum bisa menjadi penjamin pangan halal di masyarakat. Karena UU tersebut dibalut oleh sistem kapitalisme sekularisme. Sistem kehidupan yang berorientasi kepada keuntungan materi yang sebanyak-banyaknya dan menyingkirkan agama dari setiap lini kehidupan. Sistem ini telah banyak menjerumuskan manusia berbuat tanpa mempertimbangkan halal dan haram.

Rusaknya sistem kapitalisme sekularisme ini telah membutakan mata dan hati manusia. Bisa jadi menjual daging anjing telah menjadi pilihan di antara sulitnya mencari rezeki yang halal, karena dalam sistem ini jangankan uang yang halal yang haram pun betapa sulit didapatkan.
Jika pun ada sertifikasi atau label halal bukan karena keimanan kepada Allah Swt. namun faktor ekonomi dan materialistik semata.

Sangat wajar jika negara tidak memantau kehalalan produk dari hulu hingga hilir sehingga banyak ditemukan kecurangan oleh pelaku usaha. Alhasil negara belum mampu melindungi rakyat dari produk haram yang bukan sekadar merugikan kesehatan bahkan berakibat mendatangkan murka Allah.

Berbeda ketika sistem Islam yang diterapkan. Kehalalan makanan itu sangat penting karena merupakan bentuk ketaatan kepada Allah Swt. Penguasa yang nota bene sebagai pengurus rakyat, dimana kelak di akhirat akan diminta pertanggungjawaban, maka pemerintah dengan sungguh-sungguh menjaga dan mengawasi agar masyarakat terjamin dari produk pangan yang halal.

Sejarah mencatat bahwa Rasulullah saw. setiap hari melakukan kunjungan ke pasar guna melaksanakan inspeksi dalam rangka memastikan barang haram tidak ada yang beredar di pasaran. Beliau juga melarang produksi zat haram seperti khamr. Sepeninggal Beliau saw yakni para Khulafaur Rasyidin meneruskan aktivitas sidak tersebut. Penguasa dalam sistem pemerintahan Islam tanpa pandang bulu dengan tegas memberi sanksi bagi orang yang kedapatan mabuk. Hal ini untuk mencegah munculnya permintaan bagi produk haram.

Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada para wali yang memimpin daerah, memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari nonmuslim (Al-Amwaal, Abu Ubaid hal. 265). Ini dalam rangka melindungi umat dari mengonsumsi dan memperjualbelikan produk haram.

Demikianlah jaminan kehalalan produk yang paripurna hanya bisa diwujudkan oleh sistem Islam. Jaminan ini tak bisa diwujudkan dalam sistem kapitalis sekularisme, sebab standar mengonsumsi produk bukan halal-haram, melainkan manfaat. Alhasil produk-produk haram seperti perdagangan daging anjing dijamin tidak akan muncul di tengah-tengah umat Islam.
Wallahu a'lam bi-ash showwab

Ini Artikel diluar tanggungjawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.